Status Hukum Perjanjian Internasional
dalam
Hukum Nasional RI
Tinjauan Dari Perspektif Praktik
Indonesia
Damos Dumoli Agusman
Abstrak
Itu selalu menarik untuk membandingkan antara analisis
akademik dan masalah praktis dalam menerapkan perjanjian di Indonesia. Artikel
ini mencoba untuk perjanjian gambaran dan itu adalah urusan yang relevan dari
SPK perspektif praktis tentu saja akan memperkaya diskusi tentang implementasi
perjanjian dan menentukan aspek apa saja harus lebih diteliti.
I.
Pendahuluan
Hukum, doktrin dan politik Indonesia tentang status
perjanjian internasional dalam hukum nasional RI belum berkembang dan acapkali
menimbulkan persoalan praktisdalam tataran implementasi perjanjian
internasional didalam kerangka sistem hukum nasional. Ketidakjelasan ini
merupakan bagian dari ketiadaan hukum maupun doktrin pada sistem hukum
Indonesia tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional.
Secara teoritis persoalan ini berakar pada ketidakjelasan
tentang aliran/doktrin yang dianut oleh hukum indonesia. Pada negara maju,
aliran ini dicerminkan dalam constitusional provisions atau UU nasional yang
secara tegas memuat kaidah tentang apa status hukum intenasional dalam hukum
nasionalnya.
Dalam teori, terdapat beberapa pilihan politik hukum yaitu:
a. Aliran Dualisme
yaitu menempatkan hukum internasional sebagai sistem hukum terpisah dari hukum
nasional.
b. Aliran monisme yaitu
menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari satu
kesatuan sistem hukum.
II.
Pembahasan
Pada Negara-negara hokum modern seperti AS, Inggris dan
Negara-negara Eropa Barat, pengembangan doktrin tentang hubungan hokum ini
telah digulirkan sejak awal abad 20-an melalui proses yang cukup panjang baik
pada proses legislative maupun jurisprudensi yang akhirnya terkristalisasi
dalam suatu pilihan politik hokum baik monism, dualism maupun kombinasi
keduanya.
Sistem hukum di Indonesia sayangnya belum
mengindikasikan apakah menganut monisme, dualisme atau kombinasi keduanya. Akan
tetapi menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja secara jelas memotret bahwa
Indonesia mengarah pada monisme primat hukum internasional
UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang
diharapkan serta seyogianya member warna tentang politik hokum tentang masalah
ini ternyata tidak terlalu tegas menjawab pernyataan tentang status perjanjian
internasional dalam hokum nasional. Ketidaktegasan ini disebabkan oleh beberapa
factor yang mewarnai proses penyusunan UU, yaitu:
1. Perumus UU ini dipengaruhi oleh
pemikiran yang berkembang saat ini melalui pandangan Prof. Mochtar
Kusumaatmajaya yang mengindikasikan bahwa Indonesia menganut aliran monism
primat hukum internasional.
2. UU ini hanya merupakan kodifikasi
dari praktik Negara RI tentang pembuatan perjanjian Internasional yang
sebelumnya dilandaskan pada Surat Presiden RI No. 1826/HK/1960 kepada DPR
tentang pembuatan perjanjian dengan Negara lain.
3. Dunia akademis pada waktu itu tidak
atau belummenyediakan jawaban/doktrin tentang hubungan internasional maupun
nasional.
4. Juriprudensi Indonesia belum member
kontribusi untuk teridentifikasikan persoalan ini sehingga nyaris bukan
merupakan persoalan juridis yang perlu perhatian perumus UU ini.
Dalam praktik Indonesia, sekalipun suatu perjanjian
internasional telah diratifikasikan dengan UU, masih dibutuhkan adanya UU lain
untuk mengimplementasikan pada domain hokum nasional, misalnya UNCLOS 1982 yang
diratifikasikan oleh UU No.17/1985 tetap membutuhkan adanya UU No.6/1996
tentang perairan. Dalam hal ini system hukum Indonesia tidak terlalu
mengkonstruksikan secara tegas tentang perbedaan antara ratifikasi dalam
dimensi hukum internasional dengan ratifikasi dalam dimensi hukum nasional.
Pengertian ratifikasi dalam UU ini kenyataannya hanya
diartikan sebagai pernyataan eksternal Negara untuk mengikatkan diri (consent
to be bound a treaty) seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina 1969 tentang
Perjanjian Internasional.
Penjabaran konvensi
PBB 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) kedalam hukum nasional
merupakan contoh klasik yang menggambarkan keruwetan ini. Sejak dikeluarkan
deklarasi Juanda 1957, maka melalui UU perpu No.4/1960 tentang perairan
ditetapkan bahwa peairan didalam garis pangkal kepulauan Indonesia adalah rejim
perairan pedalaman (internal water). UNCLOS 1982 sebagai hukum internasional
menetapkan bahwa perairan digaris pangkal kepulauan adalah rejim perairan
kepulauan (archipelagio waters).
Prinsip
untuk semata-mata mengedepankan hukum nasional dalam perundingan perjanjian
internasional sebenarnya tidak memiliki justifikasi hukum. Dalam hukum
Indonesia tidak terdapat aturan yang melarang pembuatan perjanjian yang
menabrak hukum nasional. Pasal 4 (2) UU No. 24/2000 tentang perjanjian
internasional hanya menyatakan bahwa dalam pembuatan perjanjian internasional
dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan
memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Dalam
praktik Negara, adanya perjanjian internasional yang mengharuskan Negara
mengubah hukum nasionalnya bukanlah sesuatu yang tidak lazin. Asumsi dasar dari
perspektif hukum internasioanal justru menekankan bahwa Negara untuk membuat
perjanjian adalah untuk menghindari penerapan hukum nasional.
Namun
pada era refrmasi ini, prinsip bahwa suatu perjanjian harus selaras dengan
hukum nasional sangat ditekankan oleh Indonesia dalam rangka mengamankan serta
untuk memastikan bahwa perjanjian yang disepakatu tetap dalam korior hukum
nasional.
Kejelasan
dokrin dan hukum yang mengatur tentang hubungan hukum internasional dan hukum
nasional sudah menjadi kebutuhan hukum mutlak bagi Indonesia. Dengan belum
adanya dokrin itu telah mengharuskan Indonesia untuk menganbil sebuah kebijakan
nasional
Sehubungan
dengan itu makan sudah waktunya bagi sistem hukum Indonesia untuk mulai
mengembangkan aturan tentanghubungan
hukum Internasional dan hukum nasional.
Kesimpulan
Hukum perjanjian internasional sendiri telah cukup jelas
menempatkan kedudukan hukum nasional. Pasal 26 Vienna Convention 1969 on the
Law of Treaties mengatur prinsip fundamental hukum perjanjian internasional,
Pacta Sunt Servanda yang menyatakan bahwa perjanjian mengikat pada pihak yang
membuatnya dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Lebih lanjut Negara tidak
dapat menggunakan hukum nasional untuk menjustifikasi kegagalan dalam menjalankan
kewajibannya yang timbul dari perjanjian internasional.
Daftar pustaka
-
Anthony
Aust. Modern Treaty Law and Practice. Cambridge University Press, 2000.
-
D.J.
Harris Cases and Materials on International Law. London : Sweet & Maxwell,
Ltd, 1998.
-
Malcolm
N. Shaw. International Law. Cambridge University Press, 1997.
-
Mochtar
Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, BinaCipta 1975.
-
Cassese,
Antonio, International Law, Oxford, 2005.
S Sumber : http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/5308488504.pdf
S Sumber : http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/5308488504.pdf
Nama
Anggota :
1. Teguh Eko setiadi (26210853)
2. Riyan Dwi Yusfidianto (26210079)
3. Muhamad Arifiandi (24210642)
4. Boby Ariyanto (21210429)
5. Ivan Priyandirga Lipio (23210683)
Kelas : 2EB06
Tidak ada komentar:
Posting Komentar