Pengertian BPHTB
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau yang disingkat dengan BPHTB, diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu dengan UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangun
Yang dimaksud dengan Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, UU BPHTB menyebutkan bahwa Perolehan Hak atas Tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Adapun Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak Atas Tanah
Pasal 16 ayat (1) UU No.
5 Tahun 1960 menyebutkan bahwa hak-hak atas tanah yang dimaksud ialah :
1. hak milik;
2. hak guna usaha;
3. hak guna bangunan;
4. hak pakai;
5. hak sewa;
6. hak membuka tanah;
7. hak memungut hasil hutan; dan
8.
hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan
dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
Objek BPHTB
Dalam Pasal 2 UU BPHTB,
yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut
meliputi :
1.
Pemindahan
hak karena:
a.
jual
beli;
b.
tukar-menukar;
c.
hibah;
d.
hibah
wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas
tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang
berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia;
e.
waris;
f.
pemasukan
dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitu pengalihan hak atas tanah dan
atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau
badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan
hukum lainnya ters ebut;
g.
pemisahan
hak yang mengakibatkan peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas
tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang
hak bersama;
h.
penunjukan
pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang
sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang;
i.
pelaksanaan
putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu adanya peralihan hak
dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang
ditentukan dalam putusan hakim tersebut;
j.
penggabungan
usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap
mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha
lainnya yang menggabung;
Subjek BPHTB
Yang menjadi subjek BPHTB
adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas Tanah dan atau
Bangunan.
Wajib pajak BPHTB
Subjek pajak BPHTB sesuai
dengan ketentuan tersebut diatas menjadi wajib pajak BPHTB apabila dikenakan
kewajiban membayar pajak.
Tarif BPHTB
Pasal 5 UU BPHTB
menyatakan bahwa tarif BPHTB merupakan tarif tunggal sebesar 5%. Penentuan
tarif tunggal ini dimaksudkan untuk kesederhanaan dan kemudahan
perhitungan.Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
NPOPTKP ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60 juta, kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300 juta.
Rumus :
NPOPKP = NPOP – NPOPTKP
PAJAK TERHUTANG = TARIF PAJAK * NPOPKP
Sumber : 1. jdih.bpk.go.id/wp-content/uploads/2011/03/BPHTB.pdf
2. http://pelayanan-pajak.blogspot.com/2008/09/seputar-bea-perolehan-hak-atas-tanah.htmlom/knowledge-base/bphtb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar