Kamis, 31 Mei 2012

Review Jurnal Hukum Dagang ( Revisi )


Perkembangan Wesel Dan Cek Sebagai
Alat Bayar Giral

Agung Sujatmiko
Universitas Airlangga Surabaya

Abstrak

         Pembayaran dalam perdagangan tidak hanya menggunakan uang tunai, tapi juga surat berharga komersial, seperti kita wissel dan cek. Meskipun kesamaan antara wissel dan cek sebagai alat pembayaran, keduanya berbeda. Sedangkan wissel adalah pembayaran debit, cek adalah satu tunai. Keduanya diatur oleh KUHD, namun cek lebih populer daripada wissel. Orang lebih suka menggunakan cek dari wissel, karena cek memiliki keuntungan lebih: cepat, praktis, dan simpan. Baru cek telah diperbaiki dan maju dengan berbagai fitur, seperti wisatawan cek, menyeberangi cek, incaso cek, kasir cek, bilyet digital cek.
Pendahuluan

         Kemajuan teknologi dunia demikian pesat ternyata menyangkut juga dalam sektor perdagangan. Hal ini terbukti diantaranya dalam hal orang menghendaki segala sesuatu tang menyangkut urusan perdagangan yang bersifat praktis dan aman serta dapat di pertanggungjawabkan, khususnya dalam lalulintas pembayarannya.
Dalam hal ini orang tidak mutlak lagi menggunakan alat pembayaran berupa uang, melainkan cukup dengan menerbitkan surat berharga baik sebagai alat pembayaran kontan maupun alat pembayaran kredit.
          Dalam dunia perbankan dikenal bermacam-mavam surat berharga, antara lain wesel, cek, aksep, dan bilyet giro. Ciri surat berharga itu adalah dapat dengan mudah dipindahtangankan dari satu orang ke orang lainnya, berfungsi sebagai alat legitimasi, dan dapat di pergunakan sebagai alat pembayaran yang sah sebagai mata uang.
Salah satu surat berharga yang dipakai dalam lalulintas pembayaran secara giral adalah wesel dan cek. Wesel di atur dalam pasal 100 sampai dengan 177 KUHD, sementara cek diatur dalam pasal 178 sampai dengan pasal 229d.
          Beberapa faktor yang terkait efisiensi dan efektivitas dalam pembayarannya menjadi penyebab utama mengapa cek lebih populer dikalangan masyarakat luas. Hal ini di sebabkan karena dalam dunia perdagangan global, persoalan tentang tata cara pembayaran menjadi sangat penting, mengingat pengusaha selalu memerlukan dana segar dalam waktu cepat dan tepat untuk keperluan transaksinya dengan pihak ketiga. Oleh kaena itu, persoalan tentang alat bayar apa yang sesuai dengan tuntutan transaksi bisnis, akan berpengaruh pada intensitas penggunaan alat bayar giral yang digunakan.

 Permasalahan

          Dari uraian di atas, maka permasalahan yang akan di bahas adalah; Bagaimana perbedaan penggunaan wesel dan cek sebagai alat bayar giral dan, bagaimana perkembangan cek sebagai alat bayar giral?   

a Perbedaan Wesel dan Cek
          Berdasarkan persyaratan formil yang di atur dalam KUHD, ada beberapa perbedaan yang sangat prinsip antara wesel dan cek. Berdasarkan pasal 100 KUHD, persyaratan formil wesel adalah:
1. Nama surat wesel yang dimuatkan di dalam teksnya sendiri dan diistilahkan dalam bahasa surat itu ditulisnya.
2. Perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
3. Nama orang yang harus membayarnya (tertarik).
4. Penetapan hari bayar (vervaldaag).
5. Penetapan tempat dimana pembayaran harus dilakukan jika tempat tidak disebutkan secara khusus, maka tempat yang tertulis di samping nama tertarik dianggap sebagai tempat pembayaran.
6. Nama orang kepadanya atau kepada orang lain yang ditunjuk olehnya, pembayaran harus dilakukan.
7. Tanggal dan tempat surat wesel ditariknya.
8. Tandatangan orang yang melakukannya (penarik).
Jika dibandingkan wesel, persyaratan formil cek berbeda. Sesuai dengan pasal 178 KUHD, persyaratan formil cek adalah:
1. Nama cek dimuat dalam teksnya sendiri dan diistilahkan dalam bahasa cek itu ditulisnya.
2. Perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
3. Nama orang yang harus membayarnya (tertarik).
4. Penetapan tempat dimana pembayaran harus dibayarkan.
5. Tanggal dan tempat cek ditariknya.
6. Tandatangan orang yang mengeluarkan cek (penarik).
Jika dibandingkan dengan wesel, maka persyaratan cek lebih sedikit. Ada dua persyaratan yang berbeda dengan wesel yakni, pertama dalam cek tidak ada tanggal pembayaran, karena tanggal pembayaran cek adalah pada saat ditunjukkan pada bank. Perbedaan yang kedua di dalam cek tidak menyebutkan nama pemegang, karena wesel diterbitkan dengan klausula atas pengganti (aan order), sedangkan cek pada umumnya diterbitkan dengan kalusula atas tunjuk (aan toonder).
b Faktor-faktor Penggunaan Cek dan Perkembangannya

         Sebagai alat pembayaran yang sah, baik wesel maupun cek dapat digunakan untuk bertransaksi dalam dunia bisnis. Disamping itu juga dalam pembayaran antar manusia lainnya. Penggunaan wesel dan cek sebagai alat pembayaran dapat memudahkan urusan bisnis antar pihak.
Dalam perkembangannya cek dan wesel banyak di minati oleh masyarakat luas, namun dengan seiring bekembangnya waktu dan semakin maju tekhnologi yang ada cek sudah tidak menjadi alat pembayaran utama karena sudah gencarnya penggunaan kartu kredit. Dalam perkembangan selanjutnya, untuk melaksanakan dan menunjang Sistem Perdagangan di Internasional (SPI), maka dalam pembayarannya perlu menggunakan Cek cBilyet Digital. Menurut Arianto Mukti Wibowo dalam hal ide tentang Rancangan Protokol Cek Bilyet Digital, transaksi di internet yang mengoptimalkan penggunaan sertifikat digital sementara ini barulah SET (Secure Elektronik Transaction). Penggunaan sertifikat digital memang membuat transaksi di internet lebih aman.

Kesimpulan

            Perbedaan utama antara wesel dan cek adalah wesel sebagai alat bayar kredit, sedangkan cek merupakan alat bayar tunai. Disebut alat bayar kredit, karena pembayaran wesel masih digantungkan pada tanggal pembayaran sesuai dengan jenis wesel yang bersangkutan, sedangkan cek tanggal pembayarannya pada saat ditunjukkan pada bank, dan tidak di gantungkan pada tanggal tertentu. 

Sumber : http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/27209113130.pdf
 
Nama Anggota :
1.  Teguh Eko setiadi (26210853)
2.  Ryan Dwi Yusfidianto (26210079)
3.  Muhamad Arifiandi (24210642)
4.  Boby Ariyanto (21210429)
5.  ivan priyandirga lipio (23210683)
Kelas : 2EB06


Review Jurnal Hukum Perjanjian ( Revisi )


Status Hukum Perjanjian Internasional dalam
Hukum Nasional RI
Tinjauan Dari Perspektif Praktik Indonesia

Damos Dumoli Agusman

Abstrak

Itu selalu menarik untuk membandingkan antara analisis akademik dan masalah praktis dalam menerapkan perjanjian di Indonesia. Artikel ini mencoba untuk perjanjian gambaran dan itu adalah urusan yang relevan dari SPK perspektif praktis tentu saja akan memperkaya diskusi tentang implementasi perjanjian dan menentukan aspek apa saja harus lebih diteliti.

I.                   Pendahuluan

Hukum, doktrin dan politik Indonesia tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional RI belum berkembang dan acapkali menimbulkan persoalan praktisdalam tataran implementasi perjanjian internasional didalam kerangka sistem hukum nasional. Ketidakjelasan ini merupakan bagian dari ketiadaan hukum maupun doktrin pada sistem hukum Indonesia tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional.
Secara teoritis persoalan ini berakar pada ketidakjelasan tentang aliran/doktrin yang dianut oleh hukum indonesia. Pada negara maju, aliran ini dicerminkan dalam constitusional provisions atau UU nasional yang secara tegas memuat kaidah tentang apa status hukum intenasional dalam hukum nasionalnya.
Dalam teori, terdapat beberapa pilihan politik hukum yaitu:
a.      Aliran Dualisme yaitu menempatkan hukum internasional sebagai sistem hukum terpisah dari hukum nasional.
b.      Aliran monisme yaitu menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum.

II.                  Pembahasan
Pada Negara-negara hokum modern seperti AS, Inggris dan Negara-negara Eropa Barat, pengembangan doktrin tentang hubungan hokum ini telah digulirkan sejak awal abad 20-an melalui proses yang cukup panjang baik pada proses legislative maupun jurisprudensi yang akhirnya terkristalisasi dalam suatu pilihan politik hokum baik monism, dualism maupun kombinasi keduanya.
Sistem hukum di Indonesia sayangnya belum mengindikasikan apakah menganut monisme, dualisme atau kombinasi keduanya. Akan tetapi menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja secara jelas memotret bahwa Indonesia mengarah pada monisme primat hukum internasional
UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang diharapkan serta seyogianya member warna tentang politik hokum tentang masalah ini ternyata tidak terlalu tegas menjawab pernyataan tentang status perjanjian internasional dalam hokum nasional. Ketidaktegasan ini disebabkan oleh beberapa factor yang mewarnai proses penyusunan UU, yaitu:
1.      Perumus UU ini dipengaruhi oleh pemikiran yang berkembang saat ini melalui pandangan Prof. Mochtar Kusumaatmajaya yang mengindikasikan bahwa Indonesia menganut aliran monism primat hukum internasional.
2.      UU ini hanya merupakan kodifikasi dari praktik Negara RI tentang pembuatan perjanjian Internasional yang sebelumnya dilandaskan pada Surat Presiden RI No. 1826/HK/1960 kepada DPR tentang pembuatan perjanjian dengan Negara lain.
3.      Dunia akademis pada waktu itu tidak atau belummenyediakan jawaban/doktrin tentang hubungan internasional maupun nasional.
4.      Juriprudensi Indonesia belum member kontribusi untuk teridentifikasikan persoalan ini sehingga nyaris bukan merupakan persoalan juridis yang perlu perhatian perumus UU ini.
Dalam praktik Indonesia, sekalipun suatu perjanjian internasional telah diratifikasikan dengan UU, masih dibutuhkan adanya UU lain untuk mengimplementasikan pada domain hokum nasional, misalnya UNCLOS 1982 yang diratifikasikan oleh UU No.17/1985 tetap membutuhkan adanya UU No.6/1996 tentang perairan. Dalam hal ini system hukum Indonesia tidak terlalu mengkonstruksikan secara tegas tentang perbedaan antara ratifikasi dalam dimensi hukum internasional dengan ratifikasi dalam dimensi hukum nasional.
Pengertian ratifikasi dalam UU ini kenyataannya hanya diartikan sebagai pernyataan eksternal Negara untuk mengikatkan diri (consent to be bound a treaty) seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional.
Penjabaran konvensi  PBB 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) kedalam hukum nasional merupakan contoh klasik yang menggambarkan keruwetan ini. Sejak dikeluarkan deklarasi Juanda 1957, maka melalui UU perpu No.4/1960 tentang perairan ditetapkan bahwa peairan didalam garis pangkal kepulauan Indonesia adalah rejim perairan pedalaman (internal water). UNCLOS 1982 sebagai hukum internasional menetapkan bahwa perairan digaris pangkal kepulauan adalah rejim perairan kepulauan (archipelagio waters).
               Prinsip untuk semata-mata mengedepankan hukum nasional dalam perundingan perjanjian internasional sebenarnya tidak memiliki justifikasi hukum. Dalam hukum Indonesia tidak terdapat aturan yang melarang pembuatan perjanjian yang menabrak hukum nasional. Pasal 4 (2) UU No. 24/2000 tentang perjanjian internasional hanya menyatakan bahwa dalam pembuatan perjanjian internasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
               Dalam praktik Negara, adanya perjanjian internasional yang mengharuskan Negara mengubah hukum nasionalnya bukanlah sesuatu yang tidak lazin. Asumsi dasar dari perspektif hukum internasioanal justru menekankan bahwa Negara untuk membuat perjanjian adalah untuk menghindari penerapan hukum nasional.
               Namun pada era refrmasi ini, prinsip bahwa suatu perjanjian harus selaras dengan hukum nasional sangat ditekankan oleh Indonesia dalam rangka mengamankan serta untuk memastikan bahwa perjanjian yang disepakatu tetap dalam korior hukum nasional.
               Kejelasan dokrin dan hukum yang mengatur tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional sudah menjadi kebutuhan hukum mutlak bagi Indonesia. Dengan belum adanya dokrin itu telah mengharuskan Indonesia untuk menganbil sebuah kebijakan nasional
               Sehubungan dengan itu makan sudah waktunya bagi sistem hukum Indonesia untuk mulai mengembangkan aturan tentanghubungan  hukum Internasional dan hukum nasional.
Kesimpulan
Hukum perjanjian internasional sendiri telah cukup jelas menempatkan kedudukan hukum nasional. Pasal 26 Vienna Convention 1969 on the Law of Treaties mengatur prinsip fundamental hukum perjanjian internasional, Pacta Sunt Servanda yang menyatakan bahwa perjanjian mengikat pada pihak yang membuatnya dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Lebih lanjut Negara tidak dapat menggunakan hukum nasional untuk menjustifikasi kegagalan dalam menjalankan kewajibannya yang timbul dari perjanjian internasional.
Daftar pustaka
-          Anthony Aust. Modern Treaty Law and Practice. Cambridge University Press, 2000.
-          D.J. Harris Cases and Materials on International Law. London : Sweet & Maxwell, Ltd, 1998.
-          Malcolm N. Shaw. International Law. Cambridge University Press, 1997.
-          Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, BinaCipta 1975.
-          Cassese, Antonio, International Law, Oxford, 2005.

S     Sumber : http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/5308488504.pdf
 
Nama Anggota :

1.    Teguh Eko setiadi (26210853)
2.    Riyan Dwi Yusfidianto (26210079)
3.    Muhamad Arifiandi (24210642)
4.    Boby Ariyanto (21210429)
5.    Ivan Priyandirga Lipio (23210683)

Kelas : 2EB06

Review Jurnal Perlindungan Konsumen 2 ( Revisi )


PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG MENDERITA KERUGIAN DALAM TRANSAKSI PROPERTI
MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
(Studi Pada Pengembang Perumahan PT. Fajar Bangun Raharja Surakarta)

Harjono


Abstrak

Penelitian ini akan mempelajari dan menjawab masalah tentang dasar hukum yang dapat digunakan oleh konsumen untuk menuntut tanggung jawab perdata pengembang perumahan, dalam hal kerugian sebagai upaya mendapatkan mendapatkan perlindungan hukum; pengaturan kewajiban pelaku usaha (pengembang perumahan) di ConsumerismLaw telah cukup memberikan perlindungan terhadap pentingnya konsumen atau belum; tanggung jawab perdata pelaku usaha (pengembang perumahan) telah dilaksanakan sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen atau belum, prosedur hukum dapat ditempuh oleh konsumen yang tidak menguntungkan, untuk mengklaim kewajiban dari sipil untuk pengembang rumah tersebut penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empirik dan bersifat deskriptif. Data penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.
untuk mengklaim tanggung jawab perdata pengembang perumahan, sebagai upaya memperoleh perlindungan hukum yakni UUPK, UU No 2 Tahun 1986 Jo. UU No 9 Tahun 2004, perma No 1 Tahun 2002, UU No 30 Tahun 1999.

Pendahuluan
Pada tanggal 20 April 1999 diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang mulai efektif  berlaku pada 20 April 2000. Pada masa ini konsumen tidak memiliki   banyak peluang untuk memilih barang atau jasa yang akan dikonsumsinya sesuai dengan selera, daya beli dan kebutuhan. Konsumen lebih banyak dalam posisi didikte oleh produsen. Secara normatif pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,  pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.  Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan   yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku ( Pasal 19 ayat 1,2  UUPK ). Ketentuan ini merupakan upaya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
Pembahasan
Pada prinsipnya ketentuan yang mengatur perlindungan hukum konsumen dalam aspek hukum perdata, diatur di dalam Pasal 1320
KUH Perdata dan Pasal 1365 KUH Perdata.
Pasal 1320 KUH Perdata  mengatur bahwa untuk sahnya perjanjian   diperlukan empat syarat, yaitu :
1.    Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya.
2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3.    Suatu  hal  tertentu ; dan
4.    Suatu sebab yang halal
Sedangkan Pasal 1365 KUH Perdata mengatur syarat-syarat untuk menuntut ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum yang menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
JF. Kennedy mengemukakan adanya empat hak dasar konsumen (JF. Kennedy dalam Gunawan Wijaya, 2000 : 27):
1.    the right to safe products ;
2.    the right to be informed about products;
3.    the right to definite choices is selecting products ;
4.    the right to be heard regarding consumer interest.

Secara teoritik, di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diatur beberapa macam tanggung jawab ( liability ) sebagai berikut ( J. Gunawan, 1999 : 45-46 )
 1.   Contractual Liability
Dalam hal terdapat hubungan  perjanjian (privity of contract) antara  pelaku usaha (barang atau jasa) dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada  Contractual Li- ability (Pertanggungjawaban Kontrak- tual), yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian/kontrak dari pelaku usaha, atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasil-kannya atau memanfaatkan jasa yang diberi-kannya.
2.   Product Liability
Dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian (no privity of contract) antara pelaku usaha dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Product Liability (Pertanggung- jawaban Produk), yaitu tanggung jawab perdata secara langsung (Strict Liability ) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkannya.
3.   Professional Liability
Dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian  antara pelaku usaha dengan konsumen, tetapi prestasi pemberi jasa tersebut tidak terukur sehingga merupakan perjanjian ikhtiar (inspanning- sverbintenis), maka tanggungjawab pelaku usaha didasarkan pada  Profes- sional Liability (Pertanggungjawaban Profesional), yang menggunakan tanggungjawab perdata secara langsung (Strict Liability) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat memanfaatkan jasa yang diberikannya.
4.   Criminal Liability
Dalam hal hubungan pelaku usaha dengan negara dalam memelihara keselamatan dan keamanan masyarakat ( baca: konsumen), maka tanggungjawab pelaku usaha didasarkan pada Criminal Liability  (pertanggungjawaban pidana), yaitu tanggungjawab pidana dari pelaku usaha atas terganggunya keselamatan dan keamanan masyarakat  (konsumen).
4. Metode penelitian
1.   Kualifikasi   Penelitian
2.   Data  Penelitian  dan Sumber Data
3.   Informan
4.   Teknik Pengumpulan Data
                        a.     Wawancara
                        b.     Mencatat  dokumen
5.   Analisis Data

Peraturan Perundang-undangan yang dapat dijadikan landasan hukum oleh konsumen   perumahan yang menderita kerugian, untuk menuntut tanggungjawab perdata  pengembang perumahan, sebagai upaya memperoleh perlindungan hukum yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 juncto Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) atau   Het Herziene Inlandsche  Reglement(HIR)  Stb. 1941- 44, dan Pasal 45 UUPK, peraturan ini   dapat dijadikan dasar hukum untuk   mengajukan gugatan perdata kepada pelaku usaha   di Pengadilan Negeri.
Menurut UUPK prosedur hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen yang menderita kerugian, untuk menuntut pertanggungjawaban perdata kepada pengembang perumahan adalah dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri. Gugatan yang diajukan  didasarkan pada ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
tentang perbuatan melawan hukum.   Di samping itu dapat juga dilakukan gugatan secara   class action apabila diajukan oleh sekelompok konsumen ataupun oleh lembaga swadaya masyarakat.

Simpulan

Peraturan Perundang-undangan yang dapat  dijadikan  landasan  hukum  oleh  konsumen   perumahan yang menderita kerugian, untuk menuntut tanggungjawab perdata  pengembang perumahan, sebagai upaya memperoleh perlindungan hukum yakni UUPK, HIR, UU No. 2 Tahun 1986 Jo. UU No.9 Tahun 2004, PERMA No. 1 Tahun 2002, UU No. 30 Tahun 1999. Prosedur hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen yang menderita kerugian, untuk menuntut pertanggungjawaban perdata kepada pengembang perumahan yaitu dengan mengajukan gugatan   perbuatan melawan hukum ke Pengadilan negeri, atau gugatan class action, ataupun melalui BPSK.


DAFTAR PUSTAKA


-          A.Z. Nasution . 1990. "Sekilas Hukum Perlindungan Konsumen ". Hukum dan Pembangunan. Nomor 6 Tahun XVIII. Desember 1990. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
-          ---------. 1999. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta : Daya Widya.
-           Gunawan Widjaya. 2000. Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
-          Hady Evianto. 1999. "Hukum Perlindungan Konsumen Bukanlah Sekedar Keinginan Melainkan      Suatu Kebutuhan". Hukum dan Pembangunan. Nomor 6 Tahun XVIII. Desember 1990. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
-          Husni Syawali. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung : Mandar Maju.
-          Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Jakrta : Grasindo. Subekti. 1992. Hukum Perjanjian . Jakarta : Pradnja Paramita.
-          Sutopo HB. 1990. "Metodologi Penelitian Sosial. Penopang Teoritik dan Karakteristik Penelitian Kualitatif".
-          Makalah. Disampaikan pada Training Penelitian Bidang Sosial. Surakrta : Fakultas Hukum UNS.

Nama Anggota :

1.    Teguh Eko setiadi (26210853)
2.    Riyan Dwi Yusfidianto (26210079)
3.    Muhamad Arifiandi (24210642)
4.    Boby Ariyanto (21210429)
5.    Ivan Priyandirga Lipio (23210683)

Kelas : 2EB06